Thursday, January 21, 2010

Menghadapi Produk Dari China Dengan Penerapan SNI (Standar Nasional Indonesia)

Perdagangan internasional adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan pertukaran barang dan jasa antara satu negara dengan negara lain. Menurut J. S. Mill dalam Teori Keuntungan Komparatif (Comparative Advantage), suatu negara akan mengekspor barang yang memberikan keuntungan mutlak. Dasar nilai tukar (terms of trade) ditentukan oleh batas nilai tukar masing-masing barang di dalam negeri. Dan beberapa teori yang berhubungan dengan perdagangan inter nasional seperti Teori Keuntungan Mutlak (Absolut Advantage) dari Adam Smith dan Teori Keuntungan Komparatif versi David Ricardo. Selain itu konsep kebijakan perdagangan internasional dalam melindungi produksi dalam negeri. Kebijakan tersebut perlu secara intensif diberlakukan mengingat banyaknya barang impor khususnya yang berasal dari China telah tersebar luas bahkan sebelum pemberlakuan kebijakan perdagangan bebas FTA-China. Ditambah lagi produk tersebut diimpor secara ilegal dengan kualitas yang masih diragukan. Kita tentu masih ingat kasus ditemukannya kondom bekas dari China yang masuk secara ilegal. Hal tersebut membuktikan bahwa benteng dalam mengawasi masuknya produk impor belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

Pemerintah belum memiliki strategi besar menyongsong perdagangan bebas dengan China tersebut. Berarti dalam kurun waktu delapan tahun tidak banyak yang dilakukan pemerintah untuk mempersiapkan benteng bagi produk lokal. Banyak instrumen teknis yang kedodoran dalam menghadapi datangnya produk asal China. Apalagi instrumen tarif yang mendampingi instrumen teknis untuk membendung produk China tidak ada lagi atau 0 %. Pemerintah lebih banyak menyisir tentang pos mana yang tarifnya bisa dibebaskan (0%). Artinya pemerintah lebih berkonsentrasi pada sektor instrumen tarif yang bisa dibebaskan. Menurut pakar ekonomi Econit Hendri Saparini dalam harian Media Indonesia menyebutkan kinerja pemerintah masih belum teratur dalam menangani masalah FTA ASEAN-China yang mulai diberlakukan 1 Januari 2010.

”Pos tarif tidak terlalu efektif. Pemerintah seharusnya bisa mengkondisikan cara menghadapi barang-barang China yang masuk, misalnya berupaya melakukan moratorium liberalisasi untuk mengantisipasi FTA ini. Mengenai pos tarif, kenapa yang terpilih hingga mencapai 228 jenis. Saya melihat pemilihan ini tidak didasarkan pada strategi penjualan. Ini sangat tidak jelas dan membutuhkan pengelompokan ulang. Mudah-mudahan SNI bisa mendorong pasar dalam negeri untuk menyesuaikan standar. Kita harus memiliki keberanian menaklukan FTA khususnya dengan China (Sapartini, 2010: 1).”

Para pengamat ekonomi mengkhawatirkan FTA ASEAN-China akan menimbulkan risiko konflik ekonomi politik dalam negeri. Konflik tersebut muncul dari persaingan tidak sehat antarpengusaha. Ini disebabkan karena para pengusaha depresi, tidak hanya bersaing dengan rekan senegara tapi juga dituntut mampu bersaing dengan produk dari ASEAN khususnya China. Jika tidak mampu pengaruh negatif terjadi pada UKM dan pengusaha.

Hal tersebut bukanlah mengagetkan mengingat masih ada beberapa pengusaha dalam negeri yang masih menggunakan kebudayaan meniru atau memalsukan barang dengan kualitas yang rendah dengan harga yang murah. Atau proses produksi yang menghasilkan barang yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga seolah-olah SNI menjadi kabur karena pengaruh produk lokal itu sendiri. Ditambah lagi dengan minimnya kepercayaan masyarakat dengan produksi dalam negeri karena beberapa hal diantaranya adanya persepsi bahwa barang buatan luar negeri kualitasnya lebih baik daripada produk dalam negeri. Padahal persepsi tersebut belum tentu benar adanya karena banyak kasus barang impor yang ilegal atau membahayakan kesehatan sehingga perlindungan konsumen bisa terganggu.

Sesungguhnya tidak perlu khawatir dengan FTA jika tercipta fanatisme produksi dalam negeri. Tetapi kita tidak pernah sukses mencintai produksi sendiri. Kita masih terjebak dengan persepsi yang belum jelas keakuratan dan kebenaran persepsi tersebut. Misalnya seseorang membeli suatu barang karena image atau merk ternama dari barang tersebut dan sebagian besar digunakan untuk meningkatkan status sosial dalam masyarakat. Maka dengan persepsi tersebut seseorang akan lebih memilih membeli produk yang dibuat di luar negeri dengan model yang bagus serta merk yang ternama. Atau seseorang dengan keadaan ekonomi tertentu lebih memilih membeli produk susu yang murah apalagi buatan luar negeri dengan kualitas yang belum ditentukan serta risiko membahayakan konsumen.

Selain mempunyai dampak yang negatif, pemberlakuan perdagangan bebas dengan China mempunyai dampak yang positif. Salah satunya adalah untuk produsen yang mempunyai mental usaha yang kuat maka mereka akan merasa tersaingi dan berlomba untuk semakin meningkatkan kualitas barang yang diproduksi agar mempunyai daya saing dengan produk impor. Dengan demikian maka produsen akan survive dalam kegiatan ekonomi pada perdagangan bebas dan neraca perdagangan negara akan tetap stabil. Tapi masih sedikit produsen yang mempunyai mental tersebut. Sebenarnya ada dua cara yang efektif dalam menghadapi datangnya produk China yang bisa diterapkan pemerintah sebagai opsi alternatif. Cara defensif dilakukan dengan membuat standar yang makin ketat bagi masuknya produk China. Pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk mengawasi datangnya produk impor sering kali kecolongan dalam mengawasi produk impor. Misalnya kasus ditemukannya produk susu dan permen dari China yang mengandung melamin, unsur yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia khususnya kesehatan bayi. Cara ofensif dilakukan dengan melindungi industri dalam negeri melalui sejumlah insentif dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi barang produksi dalam negeri dan menghilangkan aturan-aturan yang menghambat industri dalam meningkatkan kualitas produksinya. Dengan penerapan SNI secara ketat terhadap produk dalam negeri dapat meningkatkan kualitas dan daya saing produk dalam negeri dengan produk asing khususnya produk asal China. Serta dengan penerapan SNI maka perlindungan terhadap konsumen akan terjamin karena barang telah sesuai standar yang telah ditentukan. Dengan menghilangkan sejumlah aturan yang menghambat industri dalam meningkatkan kualitas produknya diharapkan industri tidak dihadapkan kepada birokrasi menggurita yang dapat menghambat kinerja industri dalam meningkatkan kualitas barang yang diproduksi.

No comments:

Post a Comment